Akibat Hukum Tidak Bayar Hutang
Pada dasarnya, konsep utang piutang dilakukan untuk memberi kemudahan kepada pihak yang sedang dalam kesulitan finansial. Sayangnya, terkadang kondisi keuangan orang yang berhutang tidak kunjung membaik, sehingga menyebabkan pembayaran menjadi terganggu dan terjadilah wanprestasi (cidera janji). Akibat hukum tidak membayar hutang sendiri juga sudah diatur dalam KUHPerdata.
Kegiatan utang memang sudah sangat lumrah dilakukan masyarakat. Tidak hanya untuk membantu jika ada keperluan yang mendesak saja, namun juga bisa untuk menunjang ekonomi dalam berbisnis.
Hal yang Dilakukan Jika Terjadi Wanprestasi
Wanprestasi umumnya terjadi jika salah satu pihak lalai atau tidak membayar utang sesuai waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Saat hal ini terjadi, langkah yang bisa diambil pertama kali adalah dengan melayangkan surat teguran atau somasi agar pihak lainnya bisa segera membayar tagihan utang yang dimaksud.
Beberapa kasus yang sering terjadi, orang yang mengalami utang tidak menggubris surat somasi tersebut dan bahkan ada pula yang kemudian berupaya kabur atau tidak mau menyelesaikan masalah secara baik-baik. Jika sudah begini, maka tidak ada salahnya pihak yang dirugikan membawa perkara tersebut ke Pengadilan.
Dalam Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan, pinjam meminjam merupakan sebuah perjanjian yang dilakukan oleh pihak satu dengan pihak lainnya dalam suatu jumlah tertentu dengan syarat harus dikembalikan sejumlah dan dalam keadaan yang sama persis di awal. Konsep utang piutang sendiri juga telah diatur dalam Hukum Perdata karena memiliki hubungan sebagai berikut.
- Perjanjian dibuat oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini bisa terjadi ketika ada utang piutang, sewa menyewa, tukar menukar serta pemberian kuasa.
- Ketentuan undang-undang bermanfaat dan bisa saling menguntungkan kepada semua pihak, misalnya pembayaran tanpa utang, pewarisan, perwakilan sukarela dan perbuatan menurut hukum.`
- Ketentuan undang-undang yang merugikan pihak lainnya, seperti tindakan yang melawan hukum.
Sementara dalam Pasal 1234 KUHPerdata, seseorang bisa disebut mengalami wanprestasi dalam membayar hutang apabila terjadi sejumlah hal berikut ini.
- Hutang tidak dibayarkan sama sekali
Di sini pihak yang berhutang selaku debitur benar-benar tidak menepati janjinya untuk membayar hutang sesuai jumlah dan tempo waktu yang telah disepakati.
- Membayar hutang, namun tidak sepenuhnya lunas
Debitur memang membayar hutangnya, namun di sini tidak tepat waktu atau jauh dari batas waktu yang ditentukan.
- Melakukan tindakan yang melanggar perjanjian
Dalam perjanjian, umumnya juga disebutkan beberapa tindakan yang harus dilakukan dan larangannya. Apabila ada salah satu pihak yang ternyata melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, maka pihak ini bisa disebut telah melakukan tindakan wanprestasi.
Akibat Hukum Tidak Bayar Hutang
Utang piutang bisa menjadi hukum pidana apabila di dalamnya ada sebuah kebohongan atau penipuan (tipu muslihat). Hal ini bisa membuat salah satu pihak yang merasa dirugikan melayangkan somasi dan jika somasi tersebut diabaikan, maka bisa dengan mengambil tindakan berupa pelaporan ke pihak berwajib tentang tindak pidana penipuan.
Terkadang untuk menyelesaikan perkara ini, pihak yang berhutang memberi janji untuk membayar hutang dengan mencicil. Tentu saja hal ini bisa membuat pihak yang dirugikan menjadi tenang serta memiliki harapan besar agar masalah bisa diselesaikan tanpa jalur hukum.
Sayangnya, keadaan tentu menjadi berbeda jika pihak yang telah berjanji akan membayar hutang dengan cara mencicil tersebut juga kembali tidak melakukan seperti apa yang dijanjikan. Jika sudah seperti ini, maka sangat mungkin untuk menyeret kasus ke ranah hukum tindak pidana penipuan.
Pasal 378 KUHPidana juga sudah mengatur mengenai perkara tersebut. Dalam pasal tersebut dijelaskan, siapapun pihak yang memiliki maksud ingin menguntungkan diri sendiri maupun orang lain dengan melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti memakai nama palsu maupun serangkaian kebohongan lainnya, maka akan dikenai pasal penipuan dengan ancaman penjara maksimal empat tahun lamanya.
Di dalam Pasal 13 KUHPerdata disebutkan, persetujuan merupakan sebuah perbuatan dimana satu orang atau lebih untuk mengikatkan diri dengan satu sama lain. Dalam perjanjian juga harus disertakan berbagai syarat agar berlaku sah dan mengikat.
Apabila di kemudian hari terjadi masalah atau konflik, maka perjanjian yang telah dibuat ini bisa menjadi bukti kuat apabila melibatkan permasalahan hukum. Hal tersebut juga telah diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
- Kesepakatan semua pihak untuk mengikatkan dirinya
- Kecakapan dalam membuat sebuah perikatan
- Suatu pokok persoalan tertentu (objek)
- Sebuah sebab yang halal (tidak dilarang)
Bagi pihak yang tidak mau membayar hutang tentu saja akan sangat merugikan bagi pihak lainnya. Persoalan yang diakibatkan dari hutang piutang memang sudah sering terjadi dan tidak jarang kemudian dibawa ke ranah hukum dengan laporan tindak pidana penipuan atau penggelapan.
Banyak juga kasus dimana orang yang berhutang justru menghilang, maka untuk bisa menemukannya bisa dengan meminta bantuan kepolisian untuk menemukannya. Perlu diketahui juga, proses pidana yang dijalani oleh yang bersangkutan nantinya juga tetap harus melunasi hutangnya, sehingga tetap bisa dituntut oleh pihak yang diragukan.
Permasalahan tersebut sudah termasuk kategori hukum karena terdapat niat jahat yang juga telah memenuhi Pasal 372 KUHP terkait penggelapan serta sejumlah unsur Pasal 378 KUHP terkait penipuan. Namun di sana ada perbedaan substansi dari tindak pidana penipuan atau penggelapan terhadap kelalaian dalam membayar hutang dimana ini sudah termasuk hukum perdata.
Agar perkara tersebut bisa dilanjutkan secara perdata, maka harus ada bukti kuat. Misalnya yang menunjukkan perbuatan ataupun niat jahat yang dilakukan oleh peminjam yang dengan sengaja tidak membayar ataupun mengembalikan hutangnya.
Apabila pembayaran hutang yang tidak dilakukan ini disebabkan karena ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban sesuai perjanjian yang dibuat, maka utang piutang ini termasuk dalam perkara perdata yang harus mendapatkan ganti rugi ke pengadilan karena sudah terjadi wanprestasi.
Tetapi jika kelalaian peminjam ini disebabkan karena murni ketidakmampuannya dalam memenuhi kewajiban membayar hutang, maka pihak yang berhutang tersebut bisa dikenakan pidana dengan dugaan penggelapan atau penipuan.
Hal ini juga telah disebutkan dalam Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 terkait HAM. Dalam pasal tersebut dijelaskan, bahwa tidak ada seorangpun atas putusan pengadilan diperbolehkan untuk dipidana penjara atau kurungan jika alasannya berdasarkan ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban dalam perjanjian hutang piutang.
Proses pengadilan yang dilakukan melibatkan peran serta integritas para penegak hukum yang meliputi kepolisian, hukum serta advokat atau pengacara. Diharapkan mereka tidak merusak sistem peradilan yang sudah berjalan atau mempidanakan perbuatan hukum perdata.
Dalam praktiknya, permasalahan hutang piutang sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan jalan musyawarah, namun lebih banyak orang yang memilih menyelesaikannya di pengadilan dengan melaporkannya terlebih dahulu ke polisi atas dasar penipuan dan penggelapan. Akibat hukum tidak bayar hutang memang terbilang berat. Maka dari itu, sebaiknya berhati-hati saat melakukan kegiatan ini agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Share Yuk!
Pengacara di Bidang Hukum Bisnis, Keluarga,Haki dan lainya dan juga sebagai kontributor di Maliq & Associates